A.
Pendahuluan
Selama ini banyak orang memahami bisnis adalah
bisnis, yang tujuan utamanya memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Hukum
ekonomi klasik yang mengendalikan modal sekecil mungkin dan mengeruk keuntungan
sebesar mungkin telah menjadikan para ‘pelaku bisnis’ menghalalkan segala cara
untuk meraih keuntungan, mulai dari cara memperoleh bahan baku, bahan yang
digunakan, tempat produksi, tenaga kerja, pengelolaannya, dan pemasarannya
dilakukan seefektif dan seefesien mungkin. Hal ini tidak mengherankan jika para
pelaku bisnis jarang memperhatikan tanggungjawab sosial dan mengabaikan etika
bisnis. Etika bisnis dalam studi Islam selama ini kajiannya lebih didasarkan
pada al-Qur’an. Padahal Muhammad dalam tinjauan sejarah dikenal sebagai pelaku
bisnis yang sukses, sehingga kajian tentang etika bisnis perlu melihat perilaku
bisnis Muhammad semasa hidupnya. Mental pekerja keras Muhammad dibentuk sejak
masa kecil sewaktu diasuh Halimah Assa’diyah hingga dewasa. Bersama anak-anak
Halimah, Muhammad yang saat itu berusia 4 tahun menggembala kambing. Pengalaman
ini yang kemudian ia jadikan sebagai pekerjaan penggembala kambing-kambing
milik penduduk Makkah.
B.
Etika bisnis
Kata etika berasal dari kata ethos dalam bahasa
Yunani yang berarti kebiasaan (custom). Dalam kamus Webster etika adalah the
distinguishing character, sentiment, moral nature, or guiding beliefs of a
person, group, or institution (karakter istimewa, sentimen, tabiat moral, atau
keyakinan yang membimbing seseorang, kelompok atau institusi). Pengertian yang
lebih tegas makna etika adalah the systematic study of the nature of value
concepts, good, bad, ought, right, wrong, etc. And of the general principles
which justify us in applying them to anything; also called moral philosophy
(etika merupakan studi sistematis tentang tabiat konsep nilai, baik, buruk,
harus, benar, salah, dan lain sebagainya dan prinsip-prinsip umum yang
membenarkan kita untuk mengaplikasikannya atas apa saja).
Etika
sebagai praktis berarti : nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktikan
atau justru tidak dipraktikan, walaupun seharusnya dipraktikkan. Etika sebagai
refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi kita berfikir
tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau
tidak boleh dilakukan. Secara filosofi etika memiliki arti yang luas sebagai
pengkajian moralitas. Terdapat tiga bidang dengan fungsi dan perwujudannya
yaitu
1.
Etika deskriptif (descriptive ethics),
dalam konteks ini secara normatif menjelaskan pengalaman moral secara
deskriptif berusaha untuk mengetahui motivasi, kemauan dan tujuan sesuatu
tindakan dalam tingkah laku manusia.
2.
Etika normatif (normative ethics), yang
berusaha menjelaskan mengapa manusia bertindak seperti yang mereka lakukan, dan
apakah prinsip-prinsip dari kehidupan manusia.
3.
Metaetika (metaethics), yang berusaha
untuk memberikan arti istilah dan bahasa yang dipakai dalam pembicaraan etika,
serta cara berfikir yang dipakai untuk membenarkan pernyataan pernyataan etika.
Metaetika mempertanyakan makna yang dikandung oleh istilah-istilah kesusilaan
yang dipakai untuk membuat tanggapan-tanggapan kesusilaan (Bambang Rudito dan
Melia Famiola: 2007)
Apa
yang mendasari para pengambil keputusan yang berperan untuk pengambilan
keputusan yang tak pantas dalam bekerja? Para manajer menunjuk pada tingkah
laku dari atasan-atasan mereka dan sifat alami kebijakan organisasi mengenai
pelanggaran etika atau moral. Karenanya kita berasumsi bahwa suatu organisasi
etis, merasa terikat dan dapat mendirikan beberapa struktur yang memeriksa
prosedur untuk mendorong oraganisasi ke arah etika dan moral bisnis. Organisasi
memiliki kode-kode sebagai alat etika perusahaan secara umum. Tetapi timbul
pertanyaan: dapatkah suatu organisasi mendorong tingkah laku etis pada pihak manajerial-manajerial
pembuat keputusan? (Laura Pincus hartman:1998) Alasan mengejar keuntungan, atau
lebih tepat, keuntungan adalah hal pokok bagi kelangsungan bisnis merupakan
alasan utama bagi setiap perusahaan untuk berprilaku tidak etis. Dari sudut
pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang buruk, bahkan secara moral
keuntungan merupakan hal yang baik dan diterima. Karena pertama, secara moral
keuntungan memungkinkan perusahaan bertahan (survive) dalam kegiatan bisnisnya.
Kedua, tanpa memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal yang
bersediamenanamkan modalnya, dan karena itu berarti tidak akan terjadi
aktivitas ekonomi yang produktif dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Ketiga,
keuntungan tidak hanya memungkinkan perusahaan survive melainkan dapat menghidupi
karyawannya ke arah tingkat hidup yang lebih baik. Keuntungan dapat
dipergunakan sebagai pengembangan (expansi) perusahaan sehingga hal ini akan
membuka lapangan kerja baru. Dalam mitos bisnis amoral diatas sering
dibayangkan bisnis sebagai sebuah medan pertempuran. Terjun ke dunia bisnis
berarti siap untuk betempur habis-habisan dengan sasaran akhir yakni meraih
keuntungan, bahkan keuntungan sebesar-besarnya secara konstan. Ini lebih
berlaku lagi dalam bisnis global yang mengandalkan persaingan ketat. Pertanyaan
yang harus dijawab adalah, apakah tujuan keuntungan yang dipertaruhkan dalam
bisnis itu bertentangan dengan etika? Atau sebaliknya apakah etika bertentangan
dengan tujuan bisnis mencari keuntungan? Masih relevankah kita bicara mengenai
etika bagi bisnis yang memiliki sasaran akhir memperoleh keuntungan? Dalam
mitos bisnis modern para pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang-orang
profesional di bidangnya. Mereka memiliki keterampilan dan keahlian bisnis
melebihi orang kebanyakan, ia harus mampu untuk memperlihatkan kinerja yang
berada diatas rata-rata kinerja pelaku bisnis amatir. Yang menarik kinerja ini
tidak hanya menyangkut aspek bisnis, manajerial, dan organisasi teknis semata
melainkan juga menyangkut aspek etis. Kinerja yang menjadi prasarat
keberhasilan bisnis juga menyangkut komitmen moral, integritas moral, disiplin,
loyalitas, kesatuan visi moral, pelayanan, sikap mengutamakan mutu, penghargaan
terhadap hak dan kepentingan pihak-pihak terkait yang berkepentingan
(stakeholders), yang lama kelamaan akan berkembang menjadi sebuah etos bisnis
dalam sebuah perusahaan. Perilaku Rasulullah SAW yang jujur transparan dan
pemurah dalam melakukan praktik bisnis merupakan kunci keberhasilannya
mengelola bisnis Khodijah ra, merupakan contoh kongkrit tentang moral dan etika
dalam bisnis. Dalam teori Kontrak Sosial membagi tiga aktivitas bisnis yang
terintegrasi. Pertama adalah Hypernorms yang berlaku secara universal yakni ;
kebebasan pribadi, keamanan fisik & kesejahteraan, partisipasi politik,
persetujuan yang diinformasikan, kepemilikan atas harta, hak-hak untuk
penghidupan, martabat yang sama atas masing-masing orang/manusia. Kedua,
Kontrak Sosial Makro, landasan dasar global adalah; ruang kosong untuk muatan
moral, persetujuan cuma-cuma dan hak-hak untuk diberi jalan keluar, kompatibel
dengan hypernorms, prioritas terhadap aturan main. Ketiga, Kontrak Sosial
Mikro, sebagai landasan dasar komunitas; tidak berdusta dalam melakukan
negosiasi-negosiasi, menghormati semua kontrak, memberi kesempatan dalam
merekrut pegawai bagi penduduk lokal, memberi preferensi kontrak para penyalur
lokal, menyediakan tempat kerja yang aman (David J. Frizsche: 1997) Dalam semua
hubungan, kepercayaan adalah unsur dasar. Kepercayaan diciptakan dari
kejujuran. Kejujuran adalah satu kualitas yang paling sulit dari karakter untuk
dicapai didalam bisnis, keluarga, atau dimanapun gelanggang tempat orang-orang
berminat untuk melakukan persaingan dengan pihak-pihak lain. Selagi kita muda
kita diajarkan, di dalam tiap-tiap kasus ada kebajikan atau hikmah yang
terbaik. Kebanyakan dari kita didalam bisnis mempunyai satu misi yang terkait
dengan rencana-rencana. Kita mengarahkan energi dan sumber daya kita ke arah
tujuan keberhasilan misi kita yang kita kembangkan sepanjang perjanjian-perjanjian.
Para pemberi kerja tergantung pada karyawan, para pelanggan tergantung pada
para penyalur, bank-bank tergantung pada peminjam dan pada setiap pelaku atau
para pihak sekarang tergantung pada para pihak terdahulu dan ini akan
berlangsung secara terus menerus. Oleh karena itu kita menemukan bahwa bisnis
yang berhasil dalam masa yang panjang akan cenderung untuk membangun semua
hubungan atas mutu, kejujuran dan kepercayaan (Richard Lancaster dalam David
Stewart: 1996)
C.
Etika Bisnis Islami
Etika
bisnis lahir di Amerika pada tahun 1970 an kemudian meluas ke Eropa tahun 1980
an dan menjadi fenomena global di tahun 1990 an jika sebelumnya hanya para
teolog dan agamawan yang membicarakan masalah-masalah moral dari bisnis,
sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis disekitar
bisnis, dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis
moral yang meliputi dunia bisnis di Amerika Serikat, akan tetapi ironisnya
justru negara Amerika yang paling gigih menolak kesepakatan Bali pada pertemuan
negara-negara dunia tahun 2007 di Bali. Ketika sebagian besar negara-negara
peserta mempermasalahkan etika industri negara-negara maju yang menjadi sumber
penyebab global warming agar dibatasi, Amerika menolaknya. Jika kita menelusuri
sejarah, dalam agama Islam tampak pandangan positif terhadap perdagangan dan
kegiatan ekonomis. Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang, dan agama Islam
disebarluaskan terutama melalui para pedagang muslim. Dalam Al Quran terdapat
peringatan terhadap penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak dilarang mencari
kekayaan dengan cara halal (QS: 2;275) ”Allah telah menghalalkan perdagangan
dan melarang riba”. Islam menempatkan aktivitas perdagangan dalam posisi yang
amat strategis di tengah kegiatan manusia mencari rezeki dan penghidupan. Hal
ini dapat dilihat pada sabda Rasulullah SAW: ”Perhatikan oleh mu sekalian
perdagangan, sesungguhnya di dunia perdagangan itu ada sembilan dari sepuluh
pintu rezeki”. Dawam Rahardjo justru mencurigai tesis Weber tentang etika
Protestantisme, yang menyitir kegiatan bisnis sebagai tanggungjawab manusia
terhadap Tuhan mengutipnya dari ajaran Islam. Kunci etis dan moral bisnis
sesungguhnya terletak pada pelakunya, itu sebabnya misi diutusnya Rasulullah ke
dunia adalah untuk memperbaiki akhlak manusia yang telah rusak. Seorang
pengusaha muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis
Islami yang mencakup Husnul Khuluq. Pada derajat ini Allah akan melapangkan
hatinya, dan akan membukakan pintu rezeki, dimana pintu rezeki akan terbuka
dengan akhlak mulia tersebut, akhlak yang baik adalah modal dasar yang akan
melahirkan praktik bisnis yang etis dan moralis. Salah satu dari akhlak yang
baik dalam bisnis Islam adalah kejujuran (QS: Al Ahzab;70-71). Sebagian dari
makna kejujuran adalah seorang pengusaha senantiasa terbuka dan transparan
dalam jual belinya ”Tetapkanlah kejujuran karena sesungguhnya kejujuran
mengantarkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan kepada
surga” (Hadits). Akhlak yang lain adalah amanah, Islam menginginkan seorang
pebisnis muslim mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya dengan memenuhi
hak-hak Allah dan manusia, serta menjaga muamalah nya dari unsur yang melampaui
batas atau sia-sia. Seorang pebisnis muslim adalah sosok yang dapat dipercaya,
sehingga ia tidak menzholimi kepercayaan yang diberikan kepadanya ”Tidak ada
iman bagi orang yang tidak punya amanat (tidak dapat dipercaya), dan tidak ada
agama bagi orang yang tidak menepati janji”, ”pedagang yang jujur dan amanah
(tempatnya di surga) bersama para nabi, Shiddiqin (orang yang jujur) dan para
syuhada”(Hadits). Sifat toleran juga merupakan kunci sukses pebisnis muslim,
toleran membuka kunci rezeki dan sarana hidup tenang. Manfaat toleran adalah
mempermudah pergaulan, mempermudah urusan jual beli, dan mempercepat kembalinya
modal ”Allah mengasihi orang yang lapang dada dalam menjual, dalam membeli
serta melunasi hutang” (Hadits). Konsekuen terhadap akad dan perjanjian
merupakan kunci sukses yang lain dalam hal apapun sesungguhnya Allah memerintah
kita untuk hal itu ”Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu” (QS: Al-
Maidah;1), ”Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungjawabannya” (QS: Al Isra;34). Menepati janji mengeluarkan orang dari
kemunafikan sebagaimana sabda Rasulullah ”Tanda-tanda munafik itu tiga perkara,
ketika berbicara ia dusta, ketika sumpah ia mengingkari, ketika dipercaya ia
khianat” (Hadits).
D.
Faktor-faktor Yang Mendorong Nabi Muhammad
SAW Menjadi Pebisnis :
1.
Faktor Geografis Arab
Sejarawan
Muslim membagi penduduk Arab menjadi tiga kelompok, yaitu al-Arab al-Badi’ah
(Arab kuno), Arab al-Arabiyah (Arab pribumi), dan Arab al- Mustaribah (Arab
pendatang). Keberadaan komunitas Arab kuno ini sudah tidak diketahui
sejarahnya. Sedangkan orang Arab pribumi adalah turunan dari Khatan yang lebih
populer dengan Arab Yaman, dan Arab pendatang adalah turunan dari nenek moyang
Nabi Ismail yang datang berdiam di Hejaz, Tahama, Nejad, Palmerah, dan
lain-lain yang dikenal sebagai penduduk Arab Utara. Dari segi tempat mereka
terbagi menjadi dua kelompok, yaitu ahl al-Hadharah (penduduk kota) dan ahl
al-Badiyah (penduduk gurun pasir). Kondisi geografis yang berbeda-beda ini
berpengaruh pada perbedaan pranata sosial, tata cara kehidupan, profesi mencari
nafkah (ekonomi), dan peradaban. Karena faktor geografis, perekonomian yang
dijalankan oleh bangsa Arab sebelum Islam amat sangat sederhana dan terbatas.
Mayoritas aktivitas ekonomi penduduk Arab adalah menggembala dan berternak
binatang. Mereka yang bekerja dalam dunia pertanian atau perdagangan juga tidak
bisa lepas dari peternakan. Hal ini disebabkan para petani membutuhkan
hewanhewan untuk mendukung aktivitasnya di pertanian. Demikian juga pedagang
membutuhkan binatang untuk mengangkut dagangannya. Wajar jika persengketaan
antara warga berkutat pada masalah peternakan. K. Hitti sebagaimana dikutip
oleh Abdul Karim bahwa konflik antara penduduk Arab seputar pada persengkataan
hewan ternak, padang rumput dan mata air. Aktivitas ekonomi bangsa Arab
meliputi tiga bidang, yaitu perdagangan, pertanian dan industri. Perdagangan
dilakukan oleh orang-orang yang tinggal daerah perkotaan. Aktivitas ini
dijalankan terutama di Makkah sebagai kawasan yang tandus. Makkah adalah pusat
kota dimana orang sering berziarah dan berkumpul di ka’bah. Di daerah ini juga
sering ada pasar musiman sebagai tempat perdagangan. Letak Makkah sangat
strategis karena ia menghubungkan lalulintas perekonomian, yaitu Syam
(Yordania, Palestina, Libya), Yaman dan Habasyah (Ethiopia).
2.
Faktor Ekonomi
Abdullah ibn Abdul
Muthalib, orang tua Muhammad meninggal dalam usia muda, yakni tiga bulan
setelah hari pernikahannya dengan Aminah. Ia meninggalkan sedikit warisan
berupa lima ekor unta, beberapa ekor kambing dan seorang budak perempuan
bernama Ummu Aiman. Unta dan kambing yang jumlahnya hanya sedikit tersebut
habis digunakan untuk biaya persalinan dan perawatan Muhammad. Sejak lahir,
Muhammad disusui ibunyah selama tiga hari. Kemudian ia disusui oleh Suwaibah
(budak Abu Lahab) selama empat bulan. Selanjutnya ia disusui Halimah bint Abi
Zuwayb dari banu Said bin Bakar, seorang ibu dari suku Badui desa Banu Saad
yang berprofesi sebagai pengasuh dan ibu menyusui. Namun Halimah tidak menerima
upah, karena Aminah adalah keluarga miskin dan tidak mampu membayarnya. Untuk
mendeskripsikan bagaimana faktor ekonomi menjadi pendorong Muhammad sebagai
pebisnis.
3.
Faktor Keluarga
Ayah Muhammad bernama
Abdullah ibn Abdul Muthalib, cucu Hisyam, tokoh pendiri klan Hasyimiyah pada
suku Quraisy. Jika dirunut dari kakeknya, Muhammad berasal dari keluarga yang
kaya raya. Abdul Muthalib adalah orang yang kaya raya. Disamping dikenal
sebagai orang yang kaya raya, ia memiliki jabatan tinggi sebagai pembesar kaum
Quraisy. Ketika terjadi perampokan binatang ternak oleh tentara Abrahah, Abdul
Muthalib menemui Abrahah di perkemahan. Abrahah turun dari tahtanya dan
memjabat tangan serta mempersilahkan duduk disebelahnya. Kebesaran Abdul
Muthalib diakui oleh Abrahah sehingga ia menghormatinya. Abdul Muthalib
bernegosiasi agar binatangbinatang ternak Kebesarannya membuat Abrahah akan
menyerang Ka’bah, Abdul Muthalib berada di depan untuk melakukan negosiasi
kepada Abrahah. Meskipun leluhurnya adalah orang kaya, Muhammad tidak merasa
bangga atas kekayaannya. Muhammad hanya merasa aman jika bersama kakeknya
karena ia dikenal sebagai orang yang berpengaruh di kalangan Quraisy. Ketika
kakeknya meninggal, ia diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Pengasuhan Abu Thalib
berdasarkan wasiat yang dibuatnya. Abdul Muthalib sadar bahwa Abu Thalib mampu
memelihara Muhammad meskipun ekonominya lemah dibanding saudara-saudaranya
seperti Harits. Pilihan Abdul Muthalib berdasarkan kepribadiannya yang memiliki
sikap terpuji dan disegani orang-orang Quraisy. Pemeliharaan Abu Thalib sejak
Muhammad berusia 8 (delapan) tahun. Selama dalam perawatan dan asuhan Abu
Thalib, Muhammad memiliki banyak pengalaman, khususnya yang mendorong dirinya
untuk menjadi pedagang (pebisnis).
4.
Faktor Beristri Khadijah
Pada usia 25 tahun
Muhammad menikah dengan Khadijah (40 tahun). Nama lengkap Khadijah adalah
Khadijah binti Khuwailid ibn Asad ibn Abdul Uza ibn Qushay ibn Kilab. Khadijah
dijuluki Umm al-Mu’minin al-Kubra. Ia anak Khuwailid dan cicit Qusay. Ia
berasal dari kalangan bangsawan dan keluarga kaya. Ia tercatat sebagai wanita
terkaya di Makkah. Meskipun sebagai wanita ia dikenal pemberani, disamping
sikap lainnya yang toleran dan memiliki kepekaan sosial atas lingkungan
sekitarnya. Ia sebagai pengusaha yang memiliki kemampuan manajerial baik. Ia
mempercayakan barang dagangannya kepada anak buahnya.
E.
Etika
Bisnis Muhammad
Keberhasilan Muhammad
dalam berbisnis dipengaruhi oleh kepribadian diri Muhammad yang dibangunnya
atas dasar dialogis realitas sosial masyarakat Jahiliyyah dengan dirinya.
Kemampuan mengelola bisnis tanpak pada keberaniannya membawa dagangan Khadijah
dan ditemani hanya seorang karyawan (Maisarah). Jika ia tidak memiliki
pengalaman dan kemampuan berdagang maka ia hanya akan menjadi pendamping
Maisarah. Ia bertang-gungjawab penuh atas semua dagangan milik Khadijah.
Demikian juga barang-barang dagangannya yang ia bawa dari pasar ke pasar atau
tempattempat festival perdagangan. Berikut beberapa etika bisnis Muhammad dalam
praktek bisnisnya antara lain:
Pertama, kejujuran.
Dalam melakukan transaksi bisnis Muhammad menggunakan kejujuran sebagai etika
dasar. Gelar al-Amīn (dapat dipercaya) yang diberikan masyarakat Makkah
berdasarkan perilaku Muhammad pada setiap harinya sebelum ia menjadi pelaku
bisnis. Ia berbuat jujur dalam segala hal, termasuk menjual barang dagangannya.
Cakupan jujur ini sangat luas, seperti tidak melakukan penipuan, tidak
menyembunyikan cacat pada barang dagangan, menimbang barang dengan timbangan
yang tepat, dan lain-lain.
Kedua,
amanah. Amanah adalah bentuk masdar dari amuna, ya’munu yang artinya bisa
dipercaya. Ia juga memiliki arti pesan, perintah atau wejangan. Dalam konteks
fiqh, amanah memiliki arti kepercayaan yang diberikan kepada seseorang
berkaitan dengan harta benda. Muhammad dalam berniaga menggunakan etika ini
sebagai prinsip dalam menjalankan aktivitasnya. Ketika Muhammad sebagai salah
satu karyawan Khadijah, ia memperoleh kepercayaan penuh membawa barang-barang
dagangan Khadijah untuk dibawa dan dijual di Syam. Ia menjaga barang
dagangannya dengan baik selama dalam perjalanan. Dengan ditemani Maisarah,
Muhammad menjual barang-barang tersebut sesuai dengan amanat yang ia terima
dari Khadijah. Agar barang dagangannya aman selama dalam perjalanan, Muhammad
bersama-sama dengan rombongan kafilah dagang. Selama dalam perjalanan
kafilah-kafilah tersebut merasa aman karena dikawal oleh tim keamanan atau
sudah ada jaminan dari suku tertentu.
Ketiga,
tepat menimbang. Etika bisnis Muhammad dalam menjual barang harus seimbang.
Barang yang kering bisa ditukar dengan barang yang kering. Penukaran barang
kering tidak boleh dengan barang yang basah. Demikian juga dalam penimbangan
tersebut seseorang tidak boleh mengurangi timbangan. Dalam transaksi Muhammad
menjauhi apa yang disebut dengan muzabana dan muḥaqala. Muzabana adalah menjual
kurma atau anggur segar (basah) dengan kurma atau anggur kering dengan cara
menimbang. Muzabana pada dasarnya adalah menjual sesuatu yang jumlahnya, berat
atau ukurannya tidak diketahui dengan sesuatu yang jumlahnya, berat atau
ukurannya diketahui dengan jelas. Muḥaqala adalah jual beli atau penukaran
antara gandum belum dipanen dengan gandum yang sudah digiling atau menyewakan
tanah untuk ditukarkan dengan gandum.
Keempat,
gharar. Gharar menurut bahasa berarti al-khatar yaitu sesuatu yang tidak
diketahui pasti benar atau tidaknya. Dalam akad, gharar bisa berarti tampilan
barang dagangan yang menarik dari sigi zhahirnya, namun dari sisi substansinya
belum tentu baik. Dengan kata laian gharar adalah akad yang mengandung unsur
penipuan karena tidak adanya kepastian, baik mengenai ada atau tidak adanya
objek akad, besar kecilnya jumlah, maupun kemampuan menyerahkan objek yang
disebutkan dalam akad tersebut. Dalam prakteknya Muhammad menjauhi praktek
gharar, karena memuka ruang perselisihan antara pembeli dan penjual. Muhammad juga
melarang penjualan secara urbun (bai’ al-urbun). Muhammad melarang penjualan
dengan lebih dahulu memberikan uang muka (panjar) dan uang itu hilang jika
pembelian dibatalkan. Penjualan yang menyertai urbun adalah seorang pembeli
atau penyewa mengatakan:” Saya berikan lebih dahulu uang muka kepada Anda. Jika
pembelian ini tidak jadi saya teruskan, maka uang muka itu hilang, dan menjadi
milik Anda. Jika barang jadi dibeli maka uang muka itu diperhitungkan dari
harga yang belum dibayar.”
Kelima,
tidak melakukan penimbunan barang. Dalam bahasa Arab penimbunan barang disebut
ihtikar. Penimbunan ini tidak diperbolehkan karena akan menimbulkan
kemadharatan bagi masyarakat karena barang yang dibutuhkan tidak ada di pasar.
Tujuan penimbunan dilakukan dengan sengaja sampai dengan batas waktu untuk
menunggu tingginya harga barang-barang tersebut. Muhammad dalam praktek
bisnisnya menjauhi tindakan penimbunan. Barang dagangan yang dibawanya selalu
habis. Bahkan jika perlu barang-barang dagangan yang dimiliki oleh Khadijah
akan dijual semuanya. Namun karena keterbatasan alat transportasi Muhammad
membawa barang secukupnya.
Keenam,
tidak melakukan al-ghab dan tadlīs. Al-ghab artinya al-khada (penipuan), yakni
membeli sesuatu dengan harga yang lebih tinggi atau lebih rendah dari harga
rata-rata. Sedangkan tadlīs yaitu penipuan yang dilakukan oleh pihak penjual
atau pembeli dengan cara menyembunyikan kecacatan ketika terjadi transaāksi.
Dalam bisnis modern perilaku al-ghab atau tadlīs bisa terjadi dalam proses mark
up yang melampaui kewajaran atau wan prestasi.
Ketujuh,
saling menguntungkan. Prinsip ini mengajarkan bahwa dalam bisnis para pihak
harus merasa untung dan puas. Etika ini pada dasarnya mengakomodasi hakikat dan
tujuan bisnis. Seorang produsen ingin memperoleh keuntungan, dan seorang
konsumen ingin memperoleh barang yangbagus dan memuaskan, maka sebaiknya bisnis
dijalankan dengan saling menguntungkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar