Jumat, 08 Mei 2015

Etika Bisnis Islami

A.   Pendahuluan
Selama ini banyak orang memahami bisnis adalah bisnis, yang tujuan utamanya memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Hukum ekonomi klasik yang mengendalikan modal sekecil mungkin dan mengeruk keuntungan sebesar mungkin telah menjadikan para ‘pelaku bisnis’ menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan, mulai dari cara memperoleh bahan baku, bahan yang digunakan, tempat produksi, tenaga kerja, pengelolaannya, dan pemasarannya dilakukan seefektif dan seefesien mungkin. Hal ini tidak mengherankan jika para pelaku bisnis jarang memperhatikan tanggungjawab sosial dan mengabaikan etika bisnis. Etika bisnis dalam studi Islam selama ini kajiannya lebih didasarkan pada al-Qur’an. Padahal Muhammad dalam tinjauan sejarah dikenal sebagai pelaku bisnis yang sukses, sehingga kajian tentang etika bisnis perlu melihat perilaku bisnis Muhammad semasa hidupnya. Mental pekerja keras Muhammad dibentuk sejak masa kecil sewaktu diasuh Halimah Assa’diyah hingga dewasa. Bersama anak-anak Halimah, Muhammad yang saat itu berusia 4 tahun menggembala kambing. Pengalaman ini yang kemudian ia jadikan sebagai pekerjaan penggembala kambing-kambing milik penduduk Makkah.
B.   Etika bisnis
Kata etika berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani yang berarti kebiasaan (custom). Dalam kamus Webster etika adalah the distinguishing character, sentiment, moral nature, or guiding beliefs of a person, group, or institution (karakter istimewa, sentimen, tabiat moral, atau keyakinan yang membimbing seseorang, kelompok atau institusi). Pengertian yang lebih tegas makna etika adalah the systematic study of the nature of value concepts, good, bad, ought, right, wrong, etc. And of the general principles which justify us in applying them to anything; also called moral philosophy (etika merupakan studi sistematis tentang tabiat konsep nilai, baik, buruk, harus, benar, salah, dan lain sebagainya dan prinsip-prinsip umum yang membenarkan kita untuk mengaplikasikannya atas apa saja).
Etika sebagai praktis berarti : nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktikan atau justru tidak dipraktikan, walaupun seharusnya dipraktikkan. Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi kita berfikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Secara filosofi etika memiliki arti yang luas sebagai pengkajian moralitas. Terdapat tiga bidang dengan fungsi dan perwujudannya yaitu
1.      Etika deskriptif (descriptive ethics), dalam konteks ini secara normatif menjelaskan pengalaman moral secara deskriptif berusaha untuk mengetahui motivasi, kemauan dan tujuan sesuatu tindakan dalam tingkah laku manusia.
2.      Etika normatif (normative ethics), yang berusaha menjelaskan mengapa manusia bertindak seperti yang mereka lakukan, dan apakah prinsip-prinsip dari kehidupan manusia.
3.      Metaetika (metaethics), yang berusaha untuk memberikan arti istilah dan bahasa yang dipakai dalam pembicaraan etika, serta cara berfikir yang dipakai untuk membenarkan pernyataan pernyataan etika. Metaetika mempertanyakan makna yang dikandung oleh istilah-istilah kesusilaan yang dipakai untuk membuat tanggapan-tanggapan kesusilaan (Bambang Rudito dan Melia Famiola: 2007)
Apa yang mendasari para pengambil keputusan yang berperan untuk pengambilan keputusan yang tak pantas dalam bekerja? Para manajer menunjuk pada tingkah laku dari atasan-atasan mereka dan sifat alami kebijakan organisasi mengenai pelanggaran etika atau moral. Karenanya kita berasumsi bahwa suatu organisasi etis, merasa terikat dan dapat mendirikan beberapa struktur yang memeriksa prosedur untuk mendorong oraganisasi ke arah etika dan moral bisnis. Organisasi memiliki kode-kode sebagai alat etika perusahaan secara umum. Tetapi timbul pertanyaan: dapatkah suatu organisasi mendorong tingkah laku etis pada pihak manajerial-manajerial pembuat keputusan? (Laura Pincus hartman:1998) Alasan mengejar keuntungan, atau lebih tepat, keuntungan adalah hal pokok bagi kelangsungan bisnis merupakan alasan utama bagi setiap perusahaan untuk berprilaku tidak etis. Dari sudut pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang buruk, bahkan secara moral keuntungan merupakan hal yang baik dan diterima. Karena pertama, secara moral keuntungan memungkinkan perusahaan bertahan (survive) dalam kegiatan bisnisnya. Kedua, tanpa memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal yang bersediamenanamkan modalnya, dan karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas ekonomi yang produktif dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Ketiga, keuntungan tidak hanya memungkinkan perusahaan survive melainkan dapat menghidupi karyawannya ke arah tingkat hidup yang lebih baik. Keuntungan dapat dipergunakan sebagai pengembangan (expansi) perusahaan sehingga hal ini akan membuka lapangan kerja baru. Dalam mitos bisnis amoral diatas sering dibayangkan bisnis sebagai sebuah medan pertempuran. Terjun ke dunia bisnis berarti siap untuk betempur habis-habisan dengan sasaran akhir yakni meraih keuntungan, bahkan keuntungan sebesar-besarnya secara konstan. Ini lebih berlaku lagi dalam bisnis global yang mengandalkan persaingan ketat. Pertanyaan yang harus dijawab adalah, apakah tujuan keuntungan yang dipertaruhkan dalam bisnis itu bertentangan dengan etika? Atau sebaliknya apakah etika bertentangan dengan tujuan bisnis mencari keuntungan? Masih relevankah kita bicara mengenai etika bagi bisnis yang memiliki sasaran akhir memperoleh keuntungan? Dalam mitos bisnis modern para pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang-orang profesional di bidangnya. Mereka memiliki keterampilan dan keahlian bisnis melebihi orang kebanyakan, ia harus mampu untuk memperlihatkan kinerja yang berada diatas rata-rata kinerja pelaku bisnis amatir. Yang menarik kinerja ini tidak hanya menyangkut aspek bisnis, manajerial, dan organisasi teknis semata melainkan juga menyangkut aspek etis. Kinerja yang menjadi prasarat keberhasilan bisnis juga menyangkut komitmen moral, integritas moral, disiplin, loyalitas, kesatuan visi moral, pelayanan, sikap mengutamakan mutu, penghargaan terhadap hak dan kepentingan pihak-pihak terkait yang berkepentingan (stakeholders), yang lama kelamaan akan berkembang menjadi sebuah etos bisnis dalam sebuah perusahaan. Perilaku Rasulullah SAW yang jujur transparan dan pemurah dalam melakukan praktik bisnis merupakan kunci keberhasilannya mengelola bisnis Khodijah ra, merupakan contoh kongkrit tentang moral dan etika dalam bisnis. Dalam teori Kontrak Sosial membagi tiga aktivitas bisnis yang terintegrasi. Pertama adalah Hypernorms yang berlaku secara universal yakni ; kebebasan pribadi, keamanan fisik & kesejahteraan, partisipasi politik, persetujuan yang diinformasikan, kepemilikan atas harta, hak-hak untuk penghidupan, martabat yang sama atas masing-masing orang/manusia. Kedua, Kontrak Sosial Makro, landasan dasar global adalah; ruang kosong untuk muatan moral, persetujuan cuma-cuma dan hak-hak untuk diberi jalan keluar, kompatibel dengan hypernorms, prioritas terhadap aturan main. Ketiga, Kontrak Sosial Mikro, sebagai landasan dasar komunitas; tidak berdusta dalam melakukan negosiasi-negosiasi, menghormati semua kontrak, memberi kesempatan dalam merekrut pegawai bagi penduduk lokal, memberi preferensi kontrak para penyalur lokal, menyediakan tempat kerja yang aman (David J. Frizsche: 1997) Dalam semua hubungan, kepercayaan adalah unsur dasar. Kepercayaan diciptakan dari kejujuran. Kejujuran adalah satu kualitas yang paling sulit dari karakter untuk dicapai didalam bisnis, keluarga, atau dimanapun gelanggang tempat orang-orang berminat untuk melakukan persaingan dengan pihak-pihak lain. Selagi kita muda kita diajarkan, di dalam tiap-tiap kasus ada kebajikan atau hikmah yang terbaik. Kebanyakan dari kita didalam bisnis mempunyai satu misi yang terkait dengan rencana-rencana. Kita mengarahkan energi dan sumber daya kita ke arah tujuan keberhasilan misi kita yang kita kembangkan sepanjang perjanjian-perjanjian. Para pemberi kerja tergantung pada karyawan, para pelanggan tergantung pada para penyalur, bank-bank tergantung pada peminjam dan pada setiap pelaku atau para pihak sekarang tergantung pada para pihak terdahulu dan ini akan berlangsung secara terus menerus. Oleh karena itu kita menemukan bahwa bisnis yang berhasil dalam masa yang panjang akan cenderung untuk membangun semua hubungan atas mutu, kejujuran dan kepercayaan (Richard Lancaster dalam David Stewart: 1996)

C.   Etika Bisnis Islami
Etika bisnis lahir di Amerika pada tahun 1970 an kemudian meluas ke Eropa tahun 1980 an dan menjadi fenomena global di tahun 1990 an jika sebelumnya hanya para teolog dan agamawan yang membicarakan masalah-masalah moral dari bisnis, sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis disekitar bisnis, dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang meliputi dunia bisnis di Amerika Serikat, akan tetapi ironisnya justru negara Amerika yang paling gigih menolak kesepakatan Bali pada pertemuan negara-negara dunia tahun 2007 di Bali. Ketika sebagian besar negara-negara peserta mempermasalahkan etika industri negara-negara maju yang menjadi sumber penyebab global warming agar dibatasi, Amerika menolaknya. Jika kita menelusuri sejarah, dalam agama Islam tampak pandangan positif terhadap perdagangan dan kegiatan ekonomis. Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang, dan agama Islam disebarluaskan terutama melalui para pedagang muslim. Dalam Al Quran terdapat peringatan terhadap penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak dilarang mencari kekayaan dengan cara halal (QS: 2;275) ”Allah telah menghalalkan perdagangan dan melarang riba”. Islam menempatkan aktivitas perdagangan dalam posisi yang amat strategis di tengah kegiatan manusia mencari rezeki dan penghidupan. Hal ini dapat dilihat pada sabda Rasulullah SAW: ”Perhatikan oleh mu sekalian perdagangan, sesungguhnya di dunia perdagangan itu ada sembilan dari sepuluh pintu rezeki”. Dawam Rahardjo justru mencurigai tesis Weber tentang etika Protestantisme, yang menyitir kegiatan bisnis sebagai tanggungjawab manusia terhadap Tuhan mengutipnya dari ajaran Islam. Kunci etis dan moral bisnis sesungguhnya terletak pada pelakunya, itu sebabnya misi diutusnya Rasulullah ke dunia adalah untuk memperbaiki akhlak manusia yang telah rusak. Seorang pengusaha muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis Islami yang mencakup Husnul Khuluq. Pada derajat ini Allah akan melapangkan hatinya, dan akan membukakan pintu rezeki, dimana pintu rezeki akan terbuka dengan akhlak mulia tersebut, akhlak yang baik adalah modal dasar yang akan melahirkan praktik bisnis yang etis dan moralis. Salah satu dari akhlak yang baik dalam bisnis Islam adalah kejujuran (QS: Al Ahzab;70-71). Sebagian dari makna kejujuran adalah seorang pengusaha senantiasa terbuka dan transparan dalam jual belinya ”Tetapkanlah kejujuran karena sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan kepada surga” (Hadits). Akhlak yang lain adalah amanah, Islam menginginkan seorang pebisnis muslim mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya dengan memenuhi hak-hak Allah dan manusia, serta menjaga muamalah nya dari unsur yang melampaui batas atau sia-sia. Seorang pebisnis muslim adalah sosok yang dapat dipercaya, sehingga ia tidak menzholimi kepercayaan yang diberikan kepadanya ”Tidak ada iman bagi orang yang tidak punya amanat (tidak dapat dipercaya), dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji”, ”pedagang yang jujur dan amanah (tempatnya di surga) bersama para nabi, Shiddiqin (orang yang jujur) dan para syuhada”(Hadits). Sifat toleran juga merupakan kunci sukses pebisnis muslim, toleran membuka kunci rezeki dan sarana hidup tenang. Manfaat toleran adalah mempermudah pergaulan, mempermudah urusan jual beli, dan mempercepat kembalinya modal ”Allah mengasihi orang yang lapang dada dalam menjual, dalam membeli serta melunasi hutang” (Hadits). Konsekuen terhadap akad dan perjanjian merupakan kunci sukses yang lain dalam hal apapun sesungguhnya Allah memerintah kita untuk hal itu ”Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu” (QS: Al- Maidah;1), ”Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya” (QS: Al Isra;34). Menepati janji mengeluarkan orang dari kemunafikan sebagaimana sabda Rasulullah ”Tanda-tanda munafik itu tiga perkara, ketika berbicara ia dusta, ketika sumpah ia mengingkari, ketika dipercaya ia khianat” (Hadits).
D.  Faktor-faktor Yang Mendorong Nabi Muhammad SAW Menjadi Pebisnis :
1. Faktor Geografis Arab
Sejarawan Muslim membagi penduduk Arab menjadi tiga kelompok, yaitu al-Arab al-Badi’ah (Arab kuno), Arab al-Arabiyah (Arab pribumi), dan Arab al- Mustaribah (Arab pendatang). Keberadaan komunitas Arab kuno ini sudah tidak diketahui sejarahnya. Sedangkan orang Arab pribumi adalah turunan dari Khatan yang lebih populer dengan Arab Yaman, dan Arab pendatang adalah turunan dari nenek moyang Nabi Ismail yang datang berdiam di Hejaz, Tahama, Nejad, Palmerah, dan lain-lain yang dikenal sebagai penduduk Arab Utara. Dari segi tempat mereka terbagi menjadi dua kelompok, yaitu ahl al-Hadharah (penduduk kota) dan ahl al-Badiyah (penduduk gurun pasir). Kondisi geografis yang berbeda-beda ini berpengaruh pada perbedaan pranata sosial, tata cara kehidupan, profesi mencari nafkah (ekonomi), dan peradaban. Karena faktor geografis, perekonomian yang dijalankan oleh bangsa Arab sebelum Islam amat sangat sederhana dan terbatas. Mayoritas aktivitas ekonomi penduduk Arab adalah menggembala dan berternak binatang. Mereka yang bekerja dalam dunia pertanian atau perdagangan juga tidak bisa lepas dari peternakan. Hal ini disebabkan para petani membutuhkan hewanhewan untuk mendukung aktivitasnya di pertanian. Demikian juga pedagang membutuhkan binatang untuk mengangkut dagangannya. Wajar jika persengketaan antara warga berkutat pada masalah peternakan. K. Hitti sebagaimana dikutip oleh Abdul Karim bahwa konflik antara penduduk Arab seputar pada persengkataan hewan ternak, padang rumput dan mata air. Aktivitas ekonomi bangsa Arab meliputi tiga bidang, yaitu perdagangan, pertanian dan industri. Perdagangan dilakukan oleh orang-orang yang tinggal daerah perkotaan. Aktivitas ini dijalankan terutama di Makkah sebagai kawasan yang tandus. Makkah adalah pusat kota dimana orang sering berziarah dan berkumpul di ka’bah. Di daerah ini juga sering ada pasar musiman sebagai tempat perdagangan. Letak Makkah sangat strategis karena ia menghubungkan lalulintas perekonomian, yaitu Syam (Yordania, Palestina, Libya), Yaman dan Habasyah (Ethiopia).
2. Faktor Ekonomi
Abdullah ibn Abdul Muthalib, orang tua Muhammad meninggal dalam usia muda, yakni tiga bulan setelah hari pernikahannya dengan Aminah. Ia meninggalkan sedikit warisan berupa lima ekor unta, beberapa ekor kambing dan seorang budak perempuan bernama Ummu Aiman. Unta dan kambing yang jumlahnya hanya sedikit tersebut habis digunakan untuk biaya persalinan dan perawatan Muhammad. Sejak lahir, Muhammad disusui ibunyah selama tiga hari. Kemudian ia disusui oleh Suwaibah (budak Abu Lahab) selama empat bulan. Selanjutnya ia disusui Halimah bint Abi Zuwayb dari banu Said bin Bakar, seorang ibu dari suku Badui desa Banu Saad yang berprofesi sebagai pengasuh dan ibu menyusui. Namun Halimah tidak menerima upah, karena Aminah adalah keluarga miskin dan tidak mampu membayarnya. Untuk mendeskripsikan bagaimana faktor ekonomi menjadi pendorong Muhammad sebagai pebisnis.
3. Faktor Keluarga
Ayah Muhammad bernama Abdullah ibn Abdul Muthalib, cucu Hisyam, tokoh pendiri klan Hasyimiyah pada suku Quraisy. Jika dirunut dari kakeknya, Muhammad berasal dari keluarga yang kaya raya. Abdul Muthalib adalah orang yang kaya raya. Disamping dikenal sebagai orang yang kaya raya, ia memiliki jabatan tinggi sebagai pembesar kaum Quraisy. Ketika terjadi perampokan binatang ternak oleh tentara Abrahah, Abdul Muthalib menemui Abrahah di perkemahan. Abrahah turun dari tahtanya dan memjabat tangan serta mempersilahkan duduk disebelahnya. Kebesaran Abdul Muthalib diakui oleh Abrahah sehingga ia menghormatinya. Abdul Muthalib bernegosiasi agar binatangbinatang ternak Kebesarannya membuat Abrahah akan menyerang Ka’bah, Abdul Muthalib berada di depan untuk melakukan negosiasi kepada Abrahah. Meskipun leluhurnya adalah orang kaya, Muhammad tidak merasa bangga atas kekayaannya. Muhammad hanya merasa aman jika bersama kakeknya karena ia dikenal sebagai orang yang berpengaruh di kalangan Quraisy. Ketika kakeknya meninggal, ia diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Pengasuhan Abu Thalib berdasarkan wasiat yang dibuatnya. Abdul Muthalib sadar bahwa Abu Thalib mampu memelihara Muhammad meskipun ekonominya lemah dibanding saudara-saudaranya seperti Harits. Pilihan Abdul Muthalib berdasarkan kepribadiannya yang memiliki sikap terpuji dan disegani orang-orang Quraisy. Pemeliharaan Abu Thalib sejak Muhammad berusia 8 (delapan) tahun. Selama dalam perawatan dan asuhan Abu Thalib, Muhammad memiliki banyak pengalaman, khususnya yang mendorong dirinya untuk menjadi pedagang (pebisnis).
4. Faktor Beristri Khadijah
Pada usia 25 tahun Muhammad menikah dengan Khadijah (40 tahun). Nama lengkap Khadijah adalah Khadijah binti Khuwailid ibn Asad ibn Abdul Uza ibn Qushay ibn Kilab. Khadijah dijuluki Umm al-Mu’minin al-Kubra. Ia anak Khuwailid dan cicit Qusay. Ia berasal dari kalangan bangsawan dan keluarga kaya. Ia tercatat sebagai wanita terkaya di Makkah. Meskipun sebagai wanita ia dikenal pemberani, disamping sikap lainnya yang toleran dan memiliki kepekaan sosial atas lingkungan sekitarnya. Ia sebagai pengusaha yang memiliki kemampuan manajerial baik. Ia mempercayakan barang dagangannya kepada anak buahnya.
E.   Etika Bisnis Muhammad
Keberhasilan Muhammad dalam berbisnis dipengaruhi oleh kepribadian diri Muhammad yang dibangunnya atas dasar dialogis realitas sosial masyarakat Jahiliyyah dengan dirinya. Kemampuan mengelola bisnis tanpak pada keberaniannya membawa dagangan Khadijah dan ditemani hanya seorang karyawan (Maisarah). Jika ia tidak memiliki pengalaman dan kemampuan berdagang maka ia hanya akan menjadi pendamping Maisarah. Ia bertang-gungjawab penuh atas semua dagangan milik Khadijah. Demikian juga barang-barang dagangannya yang ia bawa dari pasar ke pasar atau tempattempat festival perdagangan. Berikut beberapa etika bisnis Muhammad dalam praktek bisnisnya antara lain:
Pertama, kejujuran. Dalam melakukan transaksi bisnis Muhammad menggunakan kejujuran sebagai etika dasar. Gelar al-Amīn (dapat dipercaya) yang diberikan masyarakat Makkah berdasarkan perilaku Muhammad pada setiap harinya sebelum ia menjadi pelaku bisnis. Ia berbuat jujur dalam segala hal, termasuk menjual barang dagangannya. Cakupan jujur ini sangat luas, seperti tidak melakukan penipuan, tidak menyembunyikan cacat pada barang dagangan, menimbang barang dengan timbangan yang tepat, dan lain-lain.
Kedua, amanah. Amanah adalah bentuk masdar dari amuna, ya’munu yang artinya bisa dipercaya. Ia juga memiliki arti pesan, perintah atau wejangan. Dalam konteks fiqh, amanah memiliki arti kepercayaan yang diberikan kepada seseorang berkaitan dengan harta benda. Muhammad dalam berniaga menggunakan etika ini sebagai prinsip dalam menjalankan aktivitasnya. Ketika Muhammad sebagai salah satu karyawan Khadijah, ia memperoleh kepercayaan penuh membawa barang-barang dagangan Khadijah untuk dibawa dan dijual di Syam. Ia menjaga barang dagangannya dengan baik selama dalam perjalanan. Dengan ditemani Maisarah, Muhammad menjual barang-barang tersebut sesuai dengan amanat yang ia terima dari Khadijah. Agar barang dagangannya aman selama dalam perjalanan, Muhammad bersama-sama dengan rombongan kafilah dagang. Selama dalam perjalanan kafilah-kafilah tersebut merasa aman karena dikawal oleh tim keamanan atau sudah ada jaminan dari suku tertentu.
Ketiga, tepat menimbang. Etika bisnis Muhammad dalam menjual barang harus seimbang. Barang yang kering bisa ditukar dengan barang yang kering. Penukaran barang kering tidak boleh dengan barang yang basah. Demikian juga dalam penimbangan tersebut seseorang tidak boleh mengurangi timbangan. Dalam transaksi Muhammad menjauhi apa yang disebut dengan muzabana dan muḥaqala. Muzabana adalah menjual kurma atau anggur segar (basah) dengan kurma atau anggur kering dengan cara menimbang. Muzabana pada dasarnya adalah menjual sesuatu yang jumlahnya, berat atau ukurannya tidak diketahui dengan sesuatu yang jumlahnya, berat atau ukurannya diketahui dengan jelas. Muḥaqala adalah jual beli atau penukaran antara gandum belum dipanen dengan gandum yang sudah digiling atau menyewakan tanah untuk ditukarkan dengan gandum.
Keempat, gharar. Gharar menurut bahasa berarti al-khatar yaitu sesuatu yang tidak diketahui pasti benar atau tidaknya. Dalam akad, gharar bisa berarti tampilan barang dagangan yang menarik dari sigi zhahirnya, namun dari sisi substansinya belum tentu baik. Dengan kata laian gharar adalah akad yang mengandung unsur penipuan karena tidak adanya kepastian, baik mengenai ada atau tidak adanya objek akad, besar kecilnya jumlah, maupun kemampuan menyerahkan objek yang disebutkan dalam akad tersebut. Dalam prakteknya Muhammad menjauhi praktek gharar, karena memuka ruang perselisihan antara pembeli dan penjual. Muhammad juga melarang penjualan secara urbun (bai’ al-urbun). Muhammad melarang penjualan dengan lebih dahulu memberikan uang muka (panjar) dan uang itu hilang jika pembelian dibatalkan. Penjualan yang menyertai urbun adalah seorang pembeli atau penyewa mengatakan:” Saya berikan lebih dahulu uang muka kepada Anda. Jika pembelian ini tidak jadi saya teruskan, maka uang muka itu hilang, dan menjadi milik Anda. Jika barang jadi dibeli maka uang muka itu diperhitungkan dari harga yang belum dibayar.”
Kelima, tidak melakukan penimbunan barang. Dalam bahasa Arab penimbunan barang disebut ihtikar. Penimbunan ini tidak diperbolehkan karena akan menimbulkan kemadharatan bagi masyarakat karena barang yang dibutuhkan tidak ada di pasar. Tujuan penimbunan dilakukan dengan sengaja sampai dengan batas waktu untuk menunggu tingginya harga barang-barang tersebut. Muhammad dalam praktek bisnisnya menjauhi tindakan penimbunan. Barang dagangan yang dibawanya selalu habis. Bahkan jika perlu barang-barang dagangan yang dimiliki oleh Khadijah akan dijual semuanya. Namun karena keterbatasan alat transportasi Muhammad membawa barang secukupnya.
Keenam, tidak melakukan al-ghab dan tadlīs. Al-ghab artinya al-khada (penipuan), yakni membeli sesuatu dengan harga yang lebih tinggi atau lebih rendah dari harga rata-rata. Sedangkan tadlīs yaitu penipuan yang dilakukan oleh pihak penjual atau pembeli dengan cara menyembunyikan kecacatan ketika terjadi transaāksi. Dalam bisnis modern perilaku al-ghab atau tadlīs bisa terjadi dalam proses mark up yang melampaui kewajaran atau wan prestasi.

Ketujuh, saling menguntungkan. Prinsip ini mengajarkan bahwa dalam bisnis para pihak harus merasa untung dan puas. Etika ini pada dasarnya mengakomodasi hakikat dan tujuan bisnis. Seorang produsen ingin memperoleh keuntungan, dan seorang konsumen ingin memperoleh barang yangbagus dan memuaskan, maka sebaiknya bisnis dijalankan dengan saling menguntungkan 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar